Buku Saku 1

Edisi 1


ARTI SEBUAH KEJUJURAN

       Para pembaca yang mulia, menyoal kejujuran adalah suatu topik pembicaraan yang mahal. Kejujuran tak ubahnya ibarat barang langka, namun banyak orang yang mencarinya. Terasa susah sekali mencari orang yang jujur atau yang bisa dipercaya. Tak urung, orang kepercayaan pun bisa jadi musuh dalam selimut.
       Seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin canggih, peran kejujuran merupakan modal yang paling urgent (mendasar). Keakuratan dalam memberikan informasi, berita, data, fakta, atau memberikan kesaksian, pembuatan nota, surat menyurat, mengiklankan sebuah produk, mengukur menggunakan timbangan, dan segala yang terkait dengan pernyataan, sikap dan tindakan, seluruhnya tergantung kepada faktor kejujuran.
       Demi mengejar persaingan bisnis, persaingan posisi (jabatan), kesenjangan sosial, kesulitan ekonomi atau pun kepentingan lainnya tak jarang dapat melupakan prinsip kejujuran. Tak luput juga dalam dunia pendidikan, adanya persaingan pendidikan yang kurang sehat juga dapat menggugurkan kejujuran.Apabila dalam dunia pendidikan saja sudah lepas dari prinsip kejujuran, maka bagaimana lagi dengan yang diluar dunia pendidikan (yang merupakan hasil/output dari dunia pendidikan)?
       Demikian pula dalam rumah tangga, sangat perlu ditanamkan dan diterapkan prinsip kejujuran yang mulia ini. Betapa menyesalnya orang tua, bila sang anak sudah tidak bisa dipegang kejujurannya lagi? Betapa parahnya keretakan hubungan suami istri, bila keduanya tidak saling menaruh kepercayaan? Bila dalam lembaga kecil saja ketidakjujuran membawa dampak negatif yang luar biasa, maka bagaimana lagi dampak yang akan ditimbulkan dalam lembaga yang lebih besar?
       Sangat tragis bila slogan miring seperti “sopo sing jujur, ajur” (maknanya: siapa yang jujur, maka ia akan hancur, bahasa Jawa, pen), atau “siapa yang polos, nggak lolos”, ini semakin semarak. Apakah wabah ini bisa terobati? Jawabannya, tentu karena Allah l  tidak akan menurunkan sebuah penyakit melainkan pasti ada obatnya. Kembali kepada Islam, mempelajari ajaran-ajarannya dan mengamalkannya adalah obat yang tepat.
Jujur adalah Tanda Orang Yang Beriman
       Wahai saudaraku kaum muslimin, sesungguhnya agama Islam yang dibawa oleh baginda Nabi Muhammad ` adalah agama yang menjunjung tinggi prinsip kejujuran.Beliau sendiri adalah seorang yang mendapat gelar al amin (orang yang dapat dipercaya) dimasa itu.Karena beliau ` melandasi setiap tindakannya diatas prinsip kejujuran.
       Dalam beberapa ayat Al Qur’an, Allah l telah menyeru orang-orang yang beriman agar bersikap jujur. Diantaranya adalah firman Allah l:
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (at Taubah: 119)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar (diantaranya adalah jujur, pen).” (Al Ahzab: 70)
       Dalam kedua ayat di atas, Allah l memanggil kepada orang-orang yang beriman, agar mereka bertaqwa dan berjalan bersama orang-orang yang jujur.Mengisyaratkan bahwa konsekuensi orang yang mengikrarkan dirinya beriman kepada Allah l, hendaknya dia bertaqwa.Dan salah satu bentuk taqwa dia kepada Allah l adalah berjalan bersama orang-orang yang jujur.Berpijak diatas pijakan mereka, yaitu melandasi semua perkataan dan perbuatan diatas prinsip kejujuran.Karena kejujuran merupakan tanda kesempurnaan iman dan taqwa dia kepada Allah l.
       Hal ini juga ditegaskan oleh Rasulullah ` dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah a:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah l dan hari kiamat, hendaklah dia berkata baik atau hendaknya dia diam (bila tidak bisa berkata baik).” (HR. al Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 48)
       Diantara perkataan yang baik adalah perkataan yang jujur.Bahkan kejujuran itu adalah sumber segala kebaikan.
Arti Sebuah Kejujuran
       Para pembaca, setiap yang menabur biji kebaikan pasti ia akan menuai kebaikan dan demikian pula setiap yang menabur biji kejelekan pasti ia akan menuai kejelekan pula. Ini merupakan sunnatullah (ketetapan Allah l) yang sejalan dengan fitrah yang suci.     al Imam al Bukhari dan al Imam Muslim meriwayatkan dari shahabat Abdullah bin Mas’ud a, bahwa Rasulullah ` bersabda:
“Wajib atas kalian untuk jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu akan mengantarkan kepada jalan kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu akan  mengantarkan kedalam al jannah (surga), sesungguhnya orang yang benar-benar jujur akan dicatat disisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan hati-hatilah dari dusta, karena sesungguhnya dusta itu akan mengantarkan ke jalan kejelekan, dan sesungguhnya kejelekan itu akan mengantarkan kedalam an naar (neraka), sesungguhnya orang yang benar-benar dusta akan dicatat disisi Allah sebagai pendusta.” (HR. al Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2606)
       Dalam hadits diatas menunjukkan bahwa jujur merupakan amalan yang amat terpuji. Dari sebuah kejujuran akan tegak kebenaran, keadilan, dan sekian banyak kebaikan dibaliknya. Hati akan menjadi tenang dan tentram. Karena orang yang jujur itu tidak mengurangi atau menzhalimi hak orang lain. Sehingga semakin  menambah kepercayaan dari orang lain.
       Cobalah perhatikan, bila seseorang berkata atau bertindak jujur, maka orang lain akan merasa dirinya dihormati, diperlakukan adil, tidak dizhalimi atau tidak dikhianati. Sehingga menumbuhkan rasa saling percaya, menambah rajutan ukhuwah (persaudaran), dan mahabbah (kasih sayang).
       Namun sebaliknya, dari ketidakjujuran akan menyebabkan terjatuh dalam perbuatan zhalim, curang atau berdusta kepada orang lain. Yang berakibat memudarnya sikap saling percaya, bahkan akan timbul kedengkian, permusuhan, dan sikap jelek lainnya. Sehingga jujur itu benar-benar akan mendatangkan kebaikan dan sebaliknya dibalik ketidakjujuran itu terdapat sekian malapetaka. Demikianlah janji Allah l dalam firman-Nya (artinya):
“… Tetapi jikalau mereka jujur terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.”(Muhammad: 21)
       Sebenarnya segala perbuatan itu bisa dinilai sendiri, apakah perbuatan itu didasari dengan jujur ataukah tidak? Bila perbuatan itu didasari dengan kejujuran maka hati itu akan menjadi tentram dan tenang. Berbeda dengan perbuatan yang didasari dengan ketidakjujuran maka hati itu akan selalu gundah gulana dan bimbang. Maka sesuatu yang masih ragu atau bimbang hendaknya ditinggalkan. Sebagaimana Rasulullah ` bersabda:
“Tinggalkan sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.Karena kejujuran itu adalah sesuatu yang menenangkan, sedangkan dusta itu adalah sesuatu yang membimbangkan.” (HR. at Tirmidzi no. 2518, an Nasa’i 8/327-328, dan Ahmad 1/200, dari shahabat al Hasan bin Ali bin Abi Thalib)
       Para pembaca, sehingga image bahwa “jujur itu ajur” itu tidaklah benar.Bahkan sikap jujur itu pasti berakibat “mujur” (baik) dan “ma’jur” (mendapat pahala dari Allah l). Diantara dampak yang baik dari perbutan jujur adalah;
1. Sebab mendapat barakah dari Allah l. Rasulullah ` bersabda:
“Penjual dan pembeli itu memiliki hak untuk meneruskan atau membatalkan akad jual belinya selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur menjelaskan keadaan barangnya maka akan diberkahi jual belinya dan jika keduanya dusta dan menyembunyikan  (aibnya) maka akan dihapus keberkahan dalam jual belinya.” (Muttafaqun ‘alaih)
       Ini adalah suatu gambaran dari Rasulullah ` tentang usaha dagang (bisnis) yang didasari dengan prinsip kejujuran.Jujur dalam memberikan sifat barang, jujur dalam timbangan, atau jujur dalam segala hal yang terkait dengan jual beli.
       Maka bisnis itu akan diberkahi oleh Allah l,,, Sebaliknya bila berlaku culas (menipu) dalam bisnisnya maka akan menjauhkan dia dari barakah-Nya, bahkan Allah l akan mendatangkan siksaan padanya. Seperti curang dalam timbangan, maka Allah l mengancam dengan ancaman yang keras, sebagaimana firman-Nya:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (yaitu curang dalam menakar dan menimbang).” (al Muthaffifin: 1)
2. Jujur sebagai sebab akan diperbaiki dan diterima amalan-amalan lainnya oleh Allah l.
3. Jujur sebagai sebab datangnya maghfirah (ampunan) Allah l.
       Sebagaimana Allah l berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar (jujur), niscaya Allah akan memperbaiki amalan-amalanmu dan akan mengampuni dosa-dosamu, …” (al Ahzab: 70-71)
4. Mendapat pahala yang besar dari Allahl
Allah l berfirman (artinya):
“(Sesungguhnya), … laki-laki dan perempuan yang jujur, … Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Ahzab : 35)
       Diantara pahala yang besar yang Allah l janjikan, yaitu barangsiapa yang memohon derajat syahid disisi Allah l dengan jujur, niscaya Allah lakan memenuhi permohanannya, meskipun ia mati diatas ranjangnya. Sebagaiamana hadits Rasulullah ` : “Barangsiapa memohon kepada Allah derajat syahid dengan jujur niscaya Allah akan menyampaikannya ke derajat para syuhada’, meskipun ia meninggal diatas ranjangnya.” (HR. Muslim no. 1909)
       Demikian pula, pedagang (pebisnis) yang jujur akan diberikan pahala tinggal bersama para nabi, orang-orang yang jujur, dan para syuhada’ (orang-orang yang mati di medan jihad). Rasulullah ` bersabda:
       “Pedagang yang jujur lagi dapat dipercaya  dan dia seorang muslim bersama para nabi, ash shiddiqin dan asy syuhada’.”(HR. at Tirmidzi : 1130 & Ibnu Majah: 2139, hadits hasan shahih. Lihat Shahih at Targhib & ash Shahihah)
       Akhir kata, semoga kajian yang ringkas ini dapat menjadi koreksi bagi kita semua.Tiada seorang pun yang bersih dari noda dosa dan kesalahan.Seyogyanya kita selalu berusaha untuk berjalan diatas prinsip kejujuran.Bila ada kelalaian hendaknya kita segera bertaubat kepada Allah l. Semoga Allah l menggolongkan kita termasuk hamba-hambanya yang jujur.
            Amien, ya Rabbal ‘alamin.

 


HIKMAH DAN KEUTAMAAN WUDHU
Para pembaca yang mulia, wudhu’ merupakan suatu amalan yang kerap kali kita lakukan. Tata caranya cukup ringkas dan praktis.Namun mengandung keutamaan yang sangat besar, sehingga kita tidak boleh meremehkannya.Karena seluruh syari’at yang dibawa oleh Rasulullah ` terkandung padanya hikmah dan manfa’at. Allah lberfirman :
“...Dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan pahala yang besar.”(an Nisaa’: 40)
      Begitu pula halnya dengan wudhu’.Meskipun terkesan ringan dan ringkas, tetapi memiliki keutamaan yang sangat besar.Sebagaimana yang Allah l janjikan pada ayat diatas. Berikut ini kami sebutkan beberapa keutamaan wudhu’, diantaranya:
1.   Pembersih dari noda-noda dosa dan penambah amal kebajikan.
      Dari shahabat Abu Hurairah a, bahwasanya Rasulullah ` bersabda:
“Apabila seorang muslim atau mukmin berwudhu’ kemudian mencuci wajahnya, maka akan keluar dari wajahnya setiap dosa pandangan yang dilakukan kedua matanya bersama air wudhu’ atau bersama akhir tetesan air wudhu’. Apabila ia mencuci kedua tangannya, maka akan keluar setiap dosa yang dilakukan kedua tangannya bersama air wudhu’ atau bersama akhir tetesan air wudhu’. Apabila ia mencuci kedua kakinya, maka akan keluar setiap dosa yang disebabkan langkah kedua kakinya bersama air wudhu’ atau bersama tetesan akhir air wudhu’, hingga ia selesai dari wudhu’nya dalam keadaan suci dan bersih dari dosa-dosa.” (HR. Muslim no. 244)
      Subhanallah… Hal ini merupakan sebuah rahmat dan kasih sayang yang sangat besar tiada tara yang diberikan Allah Rabbul ‘Alamin kepada para hamba-Nya.
      Perlu kita sadari, bahwa manusia bukanlah makhluk yang sempurna, bahkan Allah l sebagai Sang Khaliq (Pencipta) menyifati manusia sebagai makhluk yang bodoh dan sering lalai, sehingga tak jarang terjatuh dalam perbuatan dosa dan kezhaliman. Sebagaimana firman Allah l (artinya):
Sesungguhnya manusia itu amat zhalim (aniaya) dan amat bodoh.”(al Ahzab: 72)
      Ditegaskan pula dalam hadits Rasulullah `, dari sahabat Anas bin Malik a:
Setiap anak cucu Adam pasti selalu melakukan kesalahan.Dan sebaik-baik mereka yang melakukan kesalahan adalah yang selalu bertaubat.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan ad Darimi)Akan tetapi, Allah l dengan rahmat-Nya yang amat luas memberikan solusi mudah untuk membersihkan diri dari noda-noda dosa, diantaranya adalah dengan berwudhu’.Sehingga diharapkan ketika seseorang selesai dari berwudhu’, ia bersih dari dosa-dosa yang telah dilakukannya, (hal ini selama dijauhi  dosa-dosa besar).
2.  Anggota wudhu’ akan bercahaya pada hari kiamat.
      Pada hari kiamat nanti, umat Nabi Muhammad ` akan terbedakan dengan umat yang lainnya dengan cahaya yang memancar dari anggota wudhu’.  Rasulullah ` bersabda:
      “Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat nanti dalam keadaan dahi, kedua tangan dan kaki mereka bercahaya, karena bekas wudhu’.” (HR. al Bukhari no. 136 dan Muslim no. 246)
Dalam riwayat yang lain:
      “Bagaimana engkau mengenali umatmu setelah sepeninggalmu, wahai Rasulullah?“ Seraya Rasulullah ` menjawab:
      “Tahukah kalian bila seseorang memilki kuda yang berwarna putih pada dahi dan kakinya diantara kuda-kuda yang yang berwarna hitam yang tidak ada warna selainnya, bukankah dia akan mengenali kudanya? Para shahabat menjawab:
      “Tentu wahai Rasulullah.”
      Rasulullah berkata: “Mereka (umatku) nanti akan datang dalam keadaan bercahaya pada dahi dan kedua tangan dan kaki, karena bekas wudhu’ mereka.” (HR. Muslim no. 249)
      Hadits diatas menjelaskan bahwa umat Nabi Muhammad ` yang bercahaya pada hari kiamat nanti disebabkan karena amalan wudhu’. Tentunya, siapa yang tidak pernah berwudhu’, maka bagaimana mungkin dia akan bercahaya, sehingga dengan tanda tersebut, Rasululah ` akan mengenali sebagai umatnya?
3.   Mengangkat derajat disisi Allah l
      Semulia-mulia derajat adalah derajat yang tinggi disisi Allah l. Adapun seseorang yang meraih derajat tinggi dihadapan manusia itu belum tentu ia berada pada derajat tinggi disisi Alah l. Maka dengan wudhu’ yang sempurna akan dapat mengangkat derajat yang tinggi disisi Allah l. Rasulullah ` bersabda:
      “Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang dengannya Allah akan menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajatnya! Para shahabat berkata:
      “Tentu, wahai Rasulullah.”
      Kemudian Rasulullah ` bersabda: “Menyempurnakan wudhu’ walaupun dalam kondisi sulit, memperbanyak langkah menuju  ke masjid, dan menunggu shalat setelah shalat, maka itulah yang disebut dengan ar Ribath.” (HR. Muslim no. 251)
      Selain wudhu’ memiliki keutamaan yang besar, wudhu’ juga memilki peranan dan pengaruh penting pada amalan yang lainnya.            Coba perhatikan pada shalat lima waktu atau shalat sunnah yang kita kerjakan! Tidak akan sah shalat jika tanpa berwudhu’ terlebih dahulu.Karena wudhu’ merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Sebagaimana Rasulullah ` bersabda:
      “Allah tidak akan menerima shalat seseorang apabila ia berhadats, hingga dia berwudhu’.” (HR. al Bukhari no. 135 dan Muslim no. 225 dari sahabat Abu Hurairah)
      Bahkan para ‘ulama bersepakat bahwasanya shalat tidak boleh ditegakkan kecuali dengan berwudhu’ terlebih dahulu, selama tidak ada udzur untuk meninggalkan wudhu’ tersebut (al Ausath 1/107).   
      Berikut ini akan kami paparkan beberapa waktu yang disunnahkan (dianjurkan) untuk berwudhu’.Dengan ini kita akan mengetahui, betapa tinggi peranan dan pengaruh amalan wudhu’ bagi diri seseorang.Sehingga kita tidak menganggapnya enteng (ringan, remeh). Diantara waktu yang disunnahkan untuk berwudhu’, yaitu;
1.   Berwudhu’ ketika hendak pergi ke masjid
      Termasuk sunnah Rasulullah ` adalah berwudhu’ sebelum berangkat ke masjid untuk shalat berjama’ah. Yang memiliki pengaruh (nilai) yang lebih dibanding tidak berwudhu’ terlebih dahulu.
      Yaitu Allah l menjadikan barakah pada setiap langkah kaki kanan maupun kiri berupa penghapusan dosa dan penambahan pahala. Sebagaimana Rasulullah ` bersabda:
      “Apabila seorang dari kalian berwudhu’, lalu ia menyempurnakan wudhu’nya, kemudian ia pergi ke masjid karena semata-mata hanya untuk melakukan shalat, maka tidaklah ia melangkahkan kaki kirinya melainkan terhapus kejelekan darinya dan dituliskan kebaikan bersama langkah kaki kanannya hingga masuk masjid.”
      (HR. Ath Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir dari shahabat Ibnu Umar, dan dishahihkan asy Syaikh al Albani dalam Shahih al Jami’ no. 454)
2.   Menyentuh Mushaf Al Qur’an
      Al Qur’an adalah kalamullah (firman Allah l) yang diturunkan kepada nabi Muhammad ` sebagai kitab suci umat Islam.Dalam rangka memuliakan Al Qur’an sebagai kalamullah (firman Allah), maka disunnahkan berwudhu’ sebelum memegang kitab suci al Qur’an ini.al Imam ath Thabarani dan al Imam ad Daraquthni meriwayatkan hadits Rasulullah ` dari shahabat Hakim bin Hizam a: “Janganlah kamu menyentuh al Qur’an kecuali dalam keadaan suci”.
      Bagaimana jika hanya membacanya saja tanpa menyentuhnya, apakah hal ini juga disunnahkan (dianjurkan) oleh Rasulullah `?Ya, hal itu disunnahkan oleh Rasululah `. Sebagaimana sabdanya:
      “Sesungguhnya aku tidak menyukai berdzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci.”
      (HR. Abu Dawud dan an Nasa’i dari sahabat Ibnu Umar dan dishahihkan asy Syaikh al Albani).
      Tentunya, membaca al-Qur’an adalah semulia-mulia dzikir kepada Allah l.
3.   Berwudhu’ ketika hendak tidur
      Termasuk sunnah Rasulullah ` adalah berwudhu’ sebelum tidur. Hal ini bertujuan agar setiap muslim dalam kondisi suci pada setiap kedaannya, walaupun ia dalam keadaan tidur. Hingga bila memang ajal datang menjemputnya, maka diapun kembali kehadapan Rabb-nya dalam keadaan suci.
      Dan sunnah ini pun akan mengarahkan pada mimpi yang baik dan terjauhkan diri dari permainan setan yang selalu mengincarnya. (Lihat Fathul Bari 11/125 dan Syarah Shahih Muslim17/27)
      Tentang sunnah ini, Rasulullah ` telah menjelaskan dalam sabda beliau yang diriwayatkan dari sahabat Al Barra’ bin ‘Azib a, bahwasanya beliau ` bersabda:
    Apabila kamu mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhu’lah sebagaimana wudhu’mu untuk shalat.” (HR. al Bukhari no. 6311 dan Muslim no. 2710)
      Lebih jelas lagi, dari riwayat shahabat Mu’adz bin Jabal a, bahwasanya Rasulullah ` bersabda:
      “Tidaklah seorang muslim tidur di malam hari dalam keadaan telah berdzikir dan bersuci, kemudian ketika dia terbangun dari tidurnya meminta kepada Allah kebaikan dunia dan akhirat, melainkan pasti Allah akan mengabulkannya.” (Fathul Barijuz 11/124)
      Demikianlah sunnah yang selalu dijaga oleh Rasulullah ` ketika hendak tidur, yang semestinya kita sebagai muslim meneladaninya. Bahkan ketika beliau terbangun dari tidurnya untuk buang hajat, maka setelah itu beliau berwudhu’ sebelum kembali ke tempat tidurnya. Sebagaimana yang diceritakan Abdullah bin Abbas a:
      “Bahwasanya pada suatu malam Rasulullah pernah terbangun dari tidurnya untuk menunaikan hajat.Kemudian beliau membasuh wajah dan tangannya (berwudhu’) lalu kembali tidur.”
      (HR. Al Bukhari no. 6316 dan Abu Dawud no. 5043 dan dishahihkan asy Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 4217)
4.   Berwudhu’ ketika hendak berhubungan dengan istri.
      Rasulullah ` juga memberikan bimbingan bagi para suami agar ia berdo’a sebelum melakukannya, dengan doa’ yang telah diajarkan oleh Rasulullah `:
      “Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkan setan dari apa yang Engkau rizkikan kepada kami.” (HR. al Bukhari no. 141)
      Kemudian ketika telah usai dan ingin mengulanginya lagi maka hendaknya berwudhu’ terlebih dahulu. Rasulullah ` bersabda:
      “Apabila seseorang telah berhubungan dengan istrinya, kemudian ingin mengulanginya lagi maka hendaklah berwudhu’ terlebih dahulu.”
(HR. Muslim no. 308, at Tirmidzi, Ahmad dari Abu Sa’id al Khudri a dan dishahihkan asy Syaikh al Albani dalam ats Tsamarul Mustathob hal.5)
      Dengan tujuan agar setan tidak ikut campur dalam acara yang sakral ini, dan bila dikaruniai anak, maka setan tidak mampu memudharatkannya (menzhalimi si kecil).
      Para pembaca, bila kita baca biografi para ‘ulama, maka kita dapati mereka amat bersungguh-sungguh menjaga wudhu’nya dalam setiap keadaan. Sebagai contoh, al Imam asy Syathibi. Walaupun beliau adalah seorang yang buta, akan tetapi tidaklah beliau duduk disuatu majlis ilmu, kecuali beliau selalu dalam keadaan suci.
      Bahkan diantara ‘ulama ada yang tidak mau membaca hadits-hadits Rasulullah ` hingga mereka berwudhu’ terlebih dahulu.Bukan karena mereka berpendapat wajibnya berwudhu’ ketika hendak membaca hadits, akan tetapi yang mendasari untuk melakukan hal tersebut adalah kesungguhan mereka untuk menghormati ilmu dan mendapatkan keutamaan yang besar dari wudhu’.
      Akhir kata, wudhu’ bukanlah amalan yang remeh bahkan amalan yang besar disisi Allah l. Sehingga mendorong kita untuk selalu dalam kondisi suci (berwudhu’) dan berupaya bagaimana berwudhu’ dengan sempurna sesuai dengan tuntunan Rasulullah `.Maka ikutilah edisi-edisi mendatang yang insya Allah akan menampilkan sebuah tema menarik tentang taca cara wudhu’ yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah `.
     
            Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar