5

             SHOUM RAMADHAN BERSAMA PEMERINTAH
SYIAR KEBERSAMAAN UMAT ISLAM

         Bulan suci Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam.Hari-harinya diliputi suasana ibadah; puasa, shalat tarawih, tilawatul al-Quran dan lain sebagainya.Sebuah fenomena yang tak didapati di bulan-bulan selainnya. Tak heran  bila kedatangannya menjadi dambaan dan kepergiannya meninggalkan kesan yang mendalam. Tak kalah istimewanya, ternyata bulan suci Ramadhan juga merupakan salah satu syi’ar kebersamaan umat Islam.
         Secara bersama-sama mereka melaksanakan puasa disiang harinya dan mengisi malam-malamnya dengan shalat tarawih dan berbagai macam ibadah lainnya.Tak hanya kita umat Islam di Indonesia yang merasakannya, bahkan seluruh umat Islam di penjuru dunia pun turut merasakannya.
         Namun syi’ar kebersamaan itu kian hari semakin pudar, manakala elemen-elemen umat Islam di negeri ini khususnya sebagiannya mempublikasikan keputusan yang berbeda dengan keputusan pemerintah dalam menentukan awal masuknya bulan Ramadhan dan keluarnya.
         Keputusan itu terkadang atas nama organisasi massa (ormas), terkadang atas nama partai politik (parpol) dan terkadang pula atas nama pribadi. Masing-masing kelompok mengklaim bahwa keputusannya yang paling benar.Tak pelak, puasa Ramadhan yang merupakan syi’ar kebersamaan itu (sering kali) diawali dan diakhiri dengan fenomena perpecahan di tubuh umat Islam sendiri.
         Tentunya, ini merupakan fenomena menyedihkan bagi siapa saja yang mengidamkan persatuan umat.Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin anda akan berkata:
         “Itu karena adanya perbedaan pendapat diantara elemen umat Islam, apakah awal masuk dan keluarnya bulan Ramadhan itu ditentukan oleh ru’yatul hilal ataukah dengan ilmu hisab?”
         Bisa juga anda mengatakan: “Karena adanya perbedaan pendapat, apakah di dunia ini hanya berlaku satu mathla’ ataukah masing-masing negeri mempunyai mathla’ sendiri-sendiri?”.
         Para pembaca yang mulia, bila kita mau jujur tentang sebab pudarnya syi’ar kebersamaan itu -terlepas adanya realita perbedaan pendapat diatas-, maka sesungguhnya penyebab utamanya adalah semakin pudarnya salah satu prinsip penting dalam agama Islam dari hati sanubari umat Islam.Prinsip itu adalah memuliakan dan menaati pemerintah umat Islam dalam hal yang ma’ruf (kebaikan). Mungkin para pembaca bertanya-tanya,
         “Apa hubungannya antara ketaatan terhadap pemerintah dengan pelaksanaan puasa Ramadhan?”
         Ketahuilah, bahwa hubungan antara keduanya sangat erat. Hal itu dikarenakan:
1.  Puasa Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam, dan kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap pemerintah.
2. Penentuan pelaksanaan puasa Ramadhan merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan bukan kemaksiatan. Oleh karenanya, menaati pemerintah dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam. Terlebih ketika menentukannya melalui sekian proses, mulai dari pengerahan tim ru’yatul hilal di sejumlah tempat negeri ini hingga digelarnya sidang-sidang itsbat.
3. Realita membuktikan, bahwa dengan menaati keputusan pemerintah dalam hal pelaksanaan puasa Ramadhan dan penentuan hari raya ‘Idul Fitri, benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya ketika sebagian umat Islam berseberangan dengan pemerintahnya, perpecahan di tubuh mereka pun sangat mencolok.Maka dari itu, menaati pemerintah dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam.

Rasulullah `bersabda :
“Barang siapa menaatiku berarti telah menaati Allah, barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah, barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barang siapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah a)
         Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani t berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para pemerintah dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.”(Fathul Bari, 13/120).
Fatwa para ulama seputar puasa ramadhan bersama pemerintah
         Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata: “Seseorang (hendaknya) berpuasa bersama pemerintah dan jama’ah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah l bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa 25/117)
         Al-Imam at-Tirmidzi t berkata: “Sebagian ulama menafsirkan hadits Abu Hurairah a: “Puasa itu di hari kalian (umat Islam) berpuasa, idul fitri itu adalah pada saat kalian berbuka (ber-idul fitri), dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.
         Dengan perkataan (mereka), ‘sesungguhnya puasa dan hari raya itu (dilaksanakan) bersama al-Jama’ah dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi 2/37)
         Al-Imam Abul Hasan As-Sindi t berkata:     “Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan puasa Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha –pen) keputusannya bukanlah di tangan individu, dan tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Akan tetapi permasalahan semacam ini dikembalikan kepada pemerintah dan mayoritas umat Islam, dan dalam hal ini setiap individu pun wajib untuk mengikuti pemerintah dan mayoritas umat Islam.
         Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun pemerintah menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan ini.” (ash-Shahihah 2/443)
         Asy-Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani t berkata: “Dan selama belum (terwujud) bersatunya negeri-negeri Islam di atas satu mathla’ (dalam menentukan pelaksanaan puasa Ramadhan –pen), maka aku berpendapat bahwa setiap warga negara hendaknya melaksanakan puasa Ramadhan bersama negaranya (pemerintahnya) masing-masing dan tidak bercerai-berai dalam perkara ini, yakni berpuasa bersama pemerintah dan sebagian lainnya berpuasa bersama negara lain, baik mendahului pemerintahnya atau pun membelakanginya. Karena yang demikian itu dapat mempertajam perselisihan di tengah masyarakat muslim sendiri. Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu, Wallahul Musta’an.”(Tamamul Minnah hal. 398)
         Beliau juga berkata: “Inilah yang sesuai dengan syari’at (Islam) yang toleran, yang diantara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu terjadinya perpecahan.
         Syariat ini tidak memperhitungkan pendapat pribadi -walaupun menurut pemiliknya benar- dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; puasa, Id, dan shalat berjama’ah. Tidakkah engkau melihat bahwa para shahabat g sebagian mereka shalat di belakang yang lainnya (bermakmum) padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu’, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?!. Sebagian mereka ada yang melaksanakan shalat secara sempurna (4 raka’at) dalam safar dan diantara mereka pula ada yang mengqasharnya (2 raka’at)?!.
         Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk melaksanakan shalat berjamaah di belakang seorang imam (walaupun berbeda pendapat dengannya –pen) dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah.
         Hal itu dikarenakan keilmuan mereka bahwasanya bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk dari sekedar berbeda pendapat.Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat pemerintah dari pada pendapat pribadinya di momen berkumpulnya manusia seperti di Mina.              
         Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya khalifah Utsman bin Affan a melaksanakan shalat di Mina 4 raka’at (zhuhur, ‘ashar, dan isya’ –pen), maka shahabat Abdullah bin Mas’ud a mengingkarinya seraya berkata:
         “Aku telah melaksanakan shalat (di Mina/hari-hari haji –pen) bersama Nabi `, Abu Bakr, ‘Umar dan diawal pemerintahan Utsman 2 raka’at, dan berikutnya Utsman melaksanakan shalat 4 raka’at. Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian (sebagian melaksanakan shalat 4 raka’at dan sebagian lagi 2 raka’at –pen), dan harapanku dari 4 raka’at shalat itu yang diterima adalah yang 2 raka’at darinya.”
        Namun ketika di Mina shahabat Abdullah bin Mas’ud justru melaksanakan shalat tersebut 4 raka’at, maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari Utsman atas shalatnya yang 4 raka’at, (mengapa) kemudian engkau melaksanakan shalat 4 raka’at pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata:
         “Perselisihan itu jelek.”Sanadnya shahih.Diriwayatkan pula oleh al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzara. (Ash-Shahihah 2/444-445)
         Padahal beliau di antara para ulama’ yang berpendapat bahwasanya pelaksanaan puasa Ramadhan dan Idul Fithri di dunia ini hanya dengan satu mathla’ saja sebagaimana yang beliau rinci dalam kitab Tamamul Minnah hal. 398. Walaupun demikian beliau sangat getol mengajak umat Islam (saat ini) untuk melakukan puasa Ramadhan dan Idul Fitri bersama pemerintahnya, sebagaimana perkataan beliau di atas.
         î Asy-Syaikh al-Allamah Abdul Aziz bin Baz t pernah ditanya: “Jika awal masuknya bulan Ramadhan telah diumumkan di salah satu negeri Islam semisal kerajaan Saudi Arabia, namun di negeri kami belum diumumkan, bagaimanakah hukumnya?
         Apakah kami berpuasa bersama kerajaan Saudi Arabia ataukah berpuasa dan berbuka bersama penduduk negeri kami, manakala ada pengumuman?
         Demikian pula halnya dengan masuknya Idul Fitri, apa yang harus kami lakukan bila terjadi perbedaan antara negeri kami dengan negeri yang lainnya? Semoga Allah l membalas engkau dengan kebaikan.
         Maka beliau menjawab: “Bagi setiap muslim hendaknya berpuasa dan berhari raya bersama (pemerintah) negerinya masing-masing. Hal itu berdasarkan sabda Nabi `:
         “Puasa itu di hari kalian (umat Islam) berpuasa, Idul Fitri itu adalah pada saat kalian ber-idul Fitri, dan Idul Adha itu di hari kalian berkurban.” Wabillahit taufiq (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)
         î Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t ditanya: “Umat Islam di luar dunia Islam sering berselisih dalam menyikapi berbagai-macam permasalahan seperti (penentuan ) masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, serta saling berebut jabatan di bidang dakwah.
         Fenomena ini terjadi setiap tahun, hanya saja tingkat ketajamannya berbeda-beda pada tiap tahunnya. Penyebab utamanya adalah minimnya ilmu agama, mengikuti hawa nafsu dan terkadang fanatisme madzhab atau golongan, tanpa mempedulikan rambu-rambu syari’at Islam dan bimbingan para ulama’ yang kesohor akan ilmu dan wara’nya. Maka, adakah sebuah nasehat yang kiranya bermanfaat dan dapat mencegah (terjadinya) sekian kejelekan?
         Semoga Allah l memberikan taufiq dan penjagaan-Nya kepada engkau.”
         Maka beliau berkata: “Umat Islam wajib bersatu dan tidak boleh berpecah-belah dalam beragama. Sebagaimana firman Allahl(artinya): “Dia telah mensyari’atkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepadamu, Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya.” (asy-Syuura: 13)
         “Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali Imran: 103)
         “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan, dan bagi mereka adzab yang pedih.” (Ali Imran: 105)
         Maka wajib bagi umat Islam untuk menjadi umat yang satu dan tidak berpecah-belah dalam beragama.Hendaknya waktu puasa dan har raya mereka satu, dengan mengikuti keputusan badan/departemen yang menangani urusan umat Islam dan tidak bercerai-berai (dalam masalah ini), walaupun harus membelakangi puasa kerajaan Saudi Arabia atau negeri Islam lainnya.” (Fatawa Fi Ahkamish Shiyam, hal. 51-52)
         î Fatwa al-Lajnah ad-Daimah Lil-Buhuts al-‘Ilmiyyah wal-Iftaa’: “…Dan tidak mengapa bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal (bulan tsabit) di tempat tinggalnya pada malam ke-30 untuk mengambil hasil ru’yatul hilal dari tempat lain di negerinya. Jika umat Islam di negeri tersebut berbeda pendapat dalam hal penentuannya, maka yang harus diikuti adalah keputusan pemerintah di negeri tersebut bila ia seorang muslim, karena (dengan mengikuti) keputusannya akan sirnalah perbedaan pendapat itu.
         Dan jika si pemerintah bukan seorang muslim, maka hendaknya mengikuti keputusan majlis/departemen pusat yang membidangi urusan umat Islam di negeri tersebut. Hal ini semata-mata untuk menjaga kebersamaan umat Islam dalam menjalankan puasa Ramadhan dan shalat Id di negeri mereka.
         Wabillahittaufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.”
         (Pemberi fatwa: asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan asy-Syaikh Abdullah bin Mani’. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 117)
         Demikianlah beberapa fatwa para ulama terdahulu dan masa kini seputar kewajiban berpuasa dan berhari raya bersama pemerintah dan mayoritas umat Islam di negerinya.
         Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan pelejaran bagi orang-orang yang mendambakan persatuan umat Islam.

         Wallahu a’lam.

 

BERSAHUR DAN BERIFTAR (BERBUKA)
MENURUT TUNTUNAN RASULULLAH `
     
      Para pembaca rahimakumullah, sahur dan ifthar (berbuka) merupakan dua prosesi yang cukup berarti dalam keberlangsungan shaum seorang muslim. Ia tidak hanya sekedar makan dan minum, namun ia justru sebagai ibadah yang membedakan umat Islam dengan Yahudi dan Nashara.
A.  TUNTUNAN RASULULLAH ` DALAM BERSAHUR
      Perlu kita ketahui, bahwa sahur adalah sesuatu yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah `. Dalam hadits Ibnu Umar a, Rasulullah ` bersabda:
“Bersahurlah kalian, walaupun dengan seteguk air”. (Shahih at Targhib no. 1071 karya asy Syaikh al Albani)
Sahur memiliki beberapa keutamaan, diantaranya:
a.  Sahur mengandung barokah
      Sebagaimana hadits Anas bin Malik a, Rasulullah ` bersabda:


“Bersahurlah kalian karena sesungguhnya pada makan sahur terdapat barokah.”(Muttafaqun ‘alaihi)
b. Mendapat shalawat dari Allah ldan para malaikatnya.
Sebagaimana hadits Abu Sa’id al Khudri a:
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur”.(HR. Ahmad, shahih at Targhib no. 1077)
c.  Menyelisihi Ahlul Kitab
Sebagaimana hadits Amr bin Ash a, Rasulullah ` bersabda:
“Pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab adalah (pada puasa kita) ada makan sahur.” (H.R Muslim)

ADAB-ADAB BERSAHUR
1.  Mengakhirkan sahur
      Mengakhirkan sahur termasuk  sunnah Rasulullah `. Sehingga kebiasaan sebagian kaum muslimin yang bersahur jauh sebelum munculnya fajar shadiq (fajar kedua, pertanda masuknya waktu shalat shubuh) kurang sesuai dengan petunjuk Rasulullah `.
      Sahabat  Anas bin Malik a menceritakan bahwa Zaid bin Tsabit a berkata: “Kami makan sahur bersama Nabi ` kemudian beliau berdiri untuk melaksanakan shalat shubuh, saya (Anas bin Malik) bertanya kepadanya (Zaid): ”Berapa jarak antara adzan dengan sahur? Zaid menjawab: “Kurang lebih sepanjang bacaan lima puluh ayat.” (Muttafaqun ‘alaihi)
2.  Bersahur dengan tamr (kurma)
      Alangkah baiknya jika dalam hidangan makan sahur terdapat kurma.
      Nabi `, bersabda: “Sebaik-baik makanan sahur seorang mukmin adalah kurma”.
(H.R. Abu Dawud dan lainnya, lihat ash Shahihah no. 562)
3.  Berakhirnya makan sahur
      Berakhirnya waktu untuk makan sahur telah ditentukan dalam al Qur’an dan as-Sunnah (al Hadits) yaitu dengan terbitnya fajar shadiq (fajar kedua, pertanda masuknya waktu shubuh) sebagaimana firman Allah l:
“...dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (al-Baqarah: 187)
      Sebagaimana pula dalam hadits ‘Aisyah d: “Sesungguhnya Bilal a mengumandangkan adzan pada malam hari, maka Rasulullah ` bersabda: ‘Silahkan kalian makan dan minum sampai ibnu Ummi Maktum a mengumandangkan adzan, sesungguhnya dia tidak mengumandangkan adzan kecuali setelah terbit fajar.” (HR. al Bukhari)
4. Imsak Menurut Timbangan Islam 
      Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka ketentuan imsak sebelum terbitnya fajar shadiq (tanda masuknya waktu shubuh) tidak ada tuntunannya  dari Rasulullah ` dan para sahabatnya. Berkata al Imam Malik t:
      “Segala sesuatu (baik perkataan ataupun perbuatan –pen) yang bukan termasuk bagian dari agama pada zaman Rasulullah ` dan para sahabatnya, maka pada hari ini juga bukan termasuk agama”.
      Berkata al Imam asy Syafi’i t: “Barangsiapa yang menganggap suatu perkara (perkataan atau perbuatan yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi ` –pen) itu baik, sungguh dia telah membuat syariat”.
      Sehingga walaupun pengumuman imsak telah dikumandangkan, sedangkan fajar shadiq (fajar kedua, pertanda masuknya waktu shubuh) belum tampak, maka masih diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk makan sahur.
      Namun demikian, jangan cendrung bermudah-mudahan dalam masalah ini.Pastikan, ketika masuk waktu shalat shubuh anda benar-benar telah berhenti dari makan sahur.

B. TUNTUNAN RASULULLAH ` DALAM BERIFTHAR (BERBUKA)
1. Kapan Berifthar?
      Al-Ifthar (berbuka) boleh dilakukan bila telah masuk waktu malam sebagaimana firman Allah l:
“Kemudian sempurnakanlah shaum sampai malam hari.” (al-Baqarah: 187)
      Ayat ini telah ditafsirkan oleh Rasulullah ` bahwa hal itu terjadi bila telah muncul kegelapan malam dan telah hilang cahaya siang serta tenggelamnya matahari, sebagaimana hadits Abdullah bin Abu Aufa  a berkata: “Kami bersama Rasulullah ` dalam sebuah perjalanan di bulan Ramadhan, ketika matahari telah terbenam, beliau ` bersabda:
      Wahai fulan turunlah (dari kendaraanmu) dan siapkan makanan untuk kami!Sahabat  tadi berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya engkau masih di siang hari.
      Berkata Rasulullah `: “Turunlah dan siapkan makan untuk kami! Kemudian orang tersebut turun lalu mempersiapkan makanan dan menghidangkannya kepada Rasulullah `, beliau pun kemudian minum seraya  berkata sambil  menunjuk dengan tangannya:
      "Jika matahari telah tenggelam dari arah sini (barat) dan telah muncul kegelapan malam dari arah sini (timur) maka telah boleh berbuka bagi orang yang berpuasa.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
2. Menyegerakan berifthar
      Menyegerakan berbuka merupakan sunnah Rasulullah ` maka hendaknya bagi kita untuk mencontohnya karena terdapat banyak kebaikan di di dalamnya. Jangan menunda berbuka sampai selesai shalat maghrib. Al Imam Ahmad meriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik a, beliau berkata:
“Dahulu Rasulullah ` berbuka sebelum shalat (maghrib –pen)”.
      Para pembaca yang dirahmati Allah l, menyegerakan berbuka terdapat padanya keutamaan yang banyak, diantaranya:
a.  Menyegerakan berbuka akan mendatangkan kebaikan.
      Sebagaimana hadits Sahl bin Sa’d bahwa Rasulullah ` bersabda:
“Kaum muslimin akan selalu berada dalam kebaikan (kemuliaan) selama mereka masih menyegerakan berbuka.”  (Muttafaqun ‘alaihi)
      Rasulullah ` bersabda: “Senantiasa umatku dalam kebaikan atau di atas fitrah selama mereka tidak mengakhirkan shalat maghrib sampai munculnya bintang-bintang”. (Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim dan disepakati oleh adz Dzahabi. (Lihat Silsilah ash Shahihah no. 631, karya asy Syaikh al Albani)
b. Menjaga dan menghidupkan sunnah Rasulullah `.
      Sebagaimana hadits dari sahabat Sahl bin Sa’da:
Umatku akan senantiasa di atas sunnahku, selama mereka tidak menunda berbukanya sampai  munculnya bintang-bintang.” (H.R. Ibnu Hibban, lihat Fathul Bari hadits no. 1957)
c.  Menyelisihi Yahudi, Nashara, dan Syi’ah.
      Sebagaimana hadits Abu Hurairah a:
“Agama ini akan senantiasa tegak selama umat Islam menyegerakan berbuka, karena Yahudi dan Nashara adalah orang-orang yang mengakhirkannya”. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, lihat Shahih at Targhib no. 1075)
      Al Imam Ibnu Daqiq al-Id menegaskan bahwa penundaan berbuka selain kebiasaan Yahudi dan Nashara juga merupakan kebiasaan kelompok sesat Syi’ah, yang mana mereka selalu menunggu munculnya bintang-bintang di langit (sebagai tanda awal berbuka bagi mereka -pen) dan ini menyelisihi sunnah Rasulullah `.
3.  Dengan apa berifthar (berbuka)?
      Alangkah baiknya bagi seorang yang berbuka agar berbuka dengan ruthab  (kurma setengah masak), kalau tidak mendapatkannya  boleh dengan tamr (kurma masak), kalau  tidak ada boleh dengan air, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik a :
      “Bahwasanya Rasulullah ` dahulu berbuka (berifthar) sebelum maghrib dengan beberapa ruthab, jika tidak mendapatinya maka dengan kurma yang sudah masak, kalau tidak mendapatinya maka dengan meneguk air beberapa tegukan. (Shahih  Sunan Abu Dawud hadits no. 2356, karya asy Syaikh Al Albani t)
4.  Doa ketika berifthar
      Telah disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al Hakim dari sahabat  Abdullah bin Umar a bahwa Rasulullah ` bila berbuka mengucapkan:
“Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat dan tercatatlah al-ajr (pahalanya) insya Allah.(Shahih Sunan Abu Dawud no.2357).
      Adapun do’a yang tersebar di kalangan kaum muslimin dengan lafadz:
      Para ulama hadits seperti al Hafihz Ibnu Hajar dalam kitabnya Talkhishul Habir, al Imam Ibnu Qayim dalam Zadul ma’ad, asy Syaikh al Albani dan selainnya. Mereka menyatakan hadits ini adalah dha’if (lemah) sehingga tidak boleh dijadikan sebagai sandaran dalam beramal.

Wallahu a’lamu bishshawab

0 komentar:

Posting Komentar