SHOUM RAMADHAN BERSAMA PEMERINTAH
SYIAR KEBERSAMAAN UMAT ISLAM
Bulan suci Ramadhan merupakan bulan
istimewa bagi umat Islam.Hari-harinya diliputi suasana ibadah; puasa, shalat
tarawih, tilawatul al-Quran dan lain sebagainya.Sebuah fenomena yang tak didapati
di bulan-bulan selainnya. Tak heran bila
kedatangannya menjadi dambaan dan kepergiannya meninggalkan kesan yang
mendalam. Tak kalah istimewanya, ternyata bulan suci Ramadhan juga merupakan
salah satu syi’ar kebersamaan umat Islam.
Secara bersama-sama mereka melaksanakan
puasa disiang harinya dan mengisi malam-malamnya dengan shalat tarawih dan
berbagai macam ibadah lainnya.Tak hanya kita umat Islam di Indonesia yang
merasakannya, bahkan seluruh umat Islam di penjuru dunia pun turut merasakannya.
Namun syi’ar kebersamaan itu kian hari
semakin pudar, manakala elemen-elemen umat Islam di negeri ini khususnya
sebagiannya mempublikasikan keputusan yang berbeda dengan keputusan pemerintah
dalam menentukan awal masuknya bulan Ramadhan dan keluarnya.
Keputusan itu terkadang atas nama
organisasi massa (ormas), terkadang atas nama partai politik (parpol) dan
terkadang pula atas nama pribadi. Masing-masing kelompok mengklaim bahwa
keputusannya yang paling benar.Tak pelak, puasa Ramadhan yang merupakan syi’ar
kebersamaan itu (sering kali) diawali dan diakhiri dengan fenomena perpecahan
di tubuh umat Islam sendiri.
Tentunya, ini merupakan fenomena
menyedihkan bagi siapa saja yang mengidamkan persatuan umat.Mengapa hal ini
bisa terjadi? Mungkin anda akan berkata:
“Itu karena adanya perbedaan
pendapat diantara elemen umat Islam, apakah awal masuk dan keluarnya bulan
Ramadhan itu ditentukan oleh ru’yatul hilal ataukah dengan ilmu hisab?”
Bisa juga anda mengatakan: “Karena
adanya perbedaan pendapat, apakah di dunia ini hanya berlaku satu mathla’
ataukah masing-masing negeri mempunyai mathla’ sendiri-sendiri?”.
Para pembaca yang mulia, bila kita mau
jujur tentang sebab pudarnya syi’ar kebersamaan itu -terlepas adanya realita
perbedaan pendapat diatas-, maka sesungguhnya penyebab utamanya adalah semakin
pudarnya salah satu prinsip penting dalam agama Islam dari hati sanubari umat
Islam.Prinsip itu adalah memuliakan dan menaati pemerintah umat Islam dalam hal
yang ma’ruf (kebaikan). Mungkin para pembaca bertanya-tanya,
“Apa hubungannya antara ketaatan
terhadap pemerintah dengan pelaksanaan puasa Ramadhan?”
Ketahuilah, bahwa hubungan antara
keduanya sangat erat. Hal itu dikarenakan:
1. Puasa Ramadhan
merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam, dan kebersamaan umat tidaklah mungkin
terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap pemerintah.
2. Penentuan pelaksanaan
puasa Ramadhan merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan bukan kemaksiatan.
Oleh karenanya, menaati pemerintah dalam hal ini termasuk perkara yang
diperintahkan dalam agama Islam. Terlebih ketika menentukannya melalui sekian
proses, mulai dari pengerahan tim ru’yatul hilal di sejumlah tempat negeri ini
hingga digelarnya sidang-sidang itsbat.
3. Realita membuktikan,
bahwa dengan menaati keputusan pemerintah dalam hal pelaksanaan puasa Ramadhan
dan penentuan hari raya ‘Idul Fitri, benar-benar tercipta suasana persatuan dan
kebersamaan umat. Sebaliknya ketika sebagian umat Islam berseberangan dengan
pemerintahnya, perpecahan di tubuh mereka pun sangat mencolok.Maka dari itu,
menaati pemerintah dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam
agama Islam.
Rasulullah
`bersabda :
“Barang
siapa menaatiku berarti telah menaati Allah, barangsiapa menentangku berarti
telah menentang Allah, barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah
menaatiku, dan barang siapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah
menentangku.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah a)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani t berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang
kewajiban menaati para pemerintah dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan.
Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam),
karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.”(Fathul Bari, 13/120).
Fatwa
para ulama seputar puasa ramadhan bersama pemerintah
Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata: “Seseorang (hendaknya) berpuasa bersama
pemerintah dan jama’ah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun
mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah l
bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa 25/117)
Al-Imam at-Tirmidzi t berkata: “Sebagian ulama menafsirkan hadits Abu Hurairah a: “Puasa itu di hari kalian (umat Islam) berpuasa, idul
fitri itu adalah pada saat kalian berbuka (ber-idul fitri), dan (waktu)
berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.”
Dengan perkataan (mereka),
‘sesungguhnya puasa dan hari raya itu (dilaksanakan) bersama al-Jama’ah dan
mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi 2/37)
Al-Imam Abul Hasan As-Sindi t berkata: “Yang
jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini
(menentukan pelaksanaan puasa Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha –pen)
keputusannya bukanlah di tangan individu, dan tidak ada hak bagi mereka untuk
melakukannya sendiri-sendiri. Akan tetapi permasalahan semacam ini dikembalikan
kepada pemerintah dan mayoritas umat Islam, dan dalam hal ini setiap individu
pun wajib untuk mengikuti pemerintah dan mayoritas umat Islam.
Maka dari itu, jika ada seseorang yang
melihat hilal (bulan sabit) namun pemerintah menolak persaksiannya, sudah
sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk
mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan ini.” (ash-Shahihah 2/443)
Asy-Syaikh al-Muhaddits Muhammad
Nashiruddin al-Albani t berkata: “Dan selama belum
(terwujud) bersatunya negeri-negeri Islam di atas satu mathla’ (dalam
menentukan pelaksanaan puasa Ramadhan –pen), maka aku berpendapat bahwa setiap
warga negara hendaknya melaksanakan puasa Ramadhan bersama negaranya (pemerintahnya)
masing-masing dan tidak bercerai-berai dalam perkara ini, yakni berpuasa
bersama pemerintah dan sebagian lainnya berpuasa bersama negara lain, baik
mendahului pemerintahnya atau pun membelakanginya. Karena yang demikian itu
dapat mempertajam perselisihan di tengah masyarakat muslim sendiri. Sebagaimana
yang terjadi di sebagian negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu, Wallahul
Musta’an.”(Tamamul Minnah hal. 398)
Beliau juga berkata: “Inilah yang
sesuai dengan syari’at (Islam) yang toleran, yang diantara misinya adalah
mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka
dari segala pendapat pribadi yang memicu terjadinya perpecahan.
Syariat ini tidak memperhitungkan
pendapat pribadi -walaupun menurut pemiliknya benar- dalam ibadah yang bersifat
kebersamaan seperti; puasa, Id, dan shalat berjama’ah. Tidakkah engkau melihat
bahwa para shahabat g sebagian mereka shalat di belakang yang
lainnya (bermakmum) padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa
menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk
pembatal wudhu’, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?!. Sebagian
mereka ada yang melaksanakan shalat secara sempurna (4 raka’at) dalam safar dan
diantara mereka pula ada yang mengqasharnya (2 raka’at)?!.
Namun perbedaan itu tidaklah
menghalangi mereka untuk melaksanakan shalat berjamaah di belakang seorang imam
(walaupun berbeda pendapat dengannya –pen) dan tetap berkeyakinan bahwa shalat
tersebut sah.
Hal itu dikarenakan keilmuan mereka
bahwasanya bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk dari sekedar berbeda
pendapat.Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat pemerintah dari pada
pendapat pribadinya di momen berkumpulnya manusia seperti di Mina.
Hal itu semata-mata untuk menghindari
kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap mempertahankan
pendapatnya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu Dawud (1/307),
bahwasanya khalifah Utsman bin Affan a melaksanakan shalat di Mina 4 raka’at (zhuhur,
‘ashar, dan isya’ –pen), maka shahabat Abdullah bin Mas’ud a mengingkarinya seraya berkata:
“Aku telah melaksanakan shalat (di
Mina/hari-hari haji –pen) bersama Nabi `,
Abu Bakr, ‘Umar dan diawal pemerintahan Utsman 2 raka’at, dan berikutnya Utsman
melaksanakan shalat 4 raka’at. Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian
(sebagian melaksanakan shalat 4 raka’at dan sebagian lagi 2 raka’at –pen), dan
harapanku dari 4 raka’at shalat itu yang diterima adalah yang 2 raka’at
darinya.”
Namun ketika di Mina shahabat Abdullah
bin Mas’ud justru melaksanakan shalat tersebut 4 raka’at, maka dikatakanlah
kepada beliau: “Engkau telah mengingkari Utsman atas shalatnya yang 4
raka’at, (mengapa) kemudian engkau melaksanakan shalat 4 raka’at pula?!”
Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Perselisihan itu jelek.”Sanadnya
shahih.Diriwayatkan pula oleh al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas
dari shahabat Abu Dzara. (Ash-Shahihah 2/444-445)
Padahal beliau di antara para ulama’
yang berpendapat bahwasanya pelaksanaan puasa Ramadhan dan Idul Fithri di dunia
ini hanya dengan satu mathla’ saja sebagaimana yang beliau rinci dalam kitab
Tamamul Minnah hal. 398. Walaupun demikian beliau sangat getol mengajak umat
Islam (saat ini) untuk melakukan puasa Ramadhan dan Idul Fitri bersama pemerintahnya,
sebagaimana perkataan beliau di atas.
î
Asy-Syaikh al-Allamah Abdul Aziz bin Baz t
pernah ditanya: “Jika awal masuknya bulan Ramadhan telah diumumkan di salah
satu negeri Islam semisal kerajaan Saudi Arabia, namun di negeri kami belum
diumumkan, bagaimanakah hukumnya?
Apakah kami berpuasa bersama kerajaan
Saudi Arabia ataukah berpuasa dan berbuka bersama penduduk negeri kami,
manakala ada pengumuman?
Demikian pula halnya dengan masuknya
Idul Fitri, apa yang harus kami lakukan bila terjadi perbedaan antara negeri
kami dengan negeri yang lainnya? Semoga Allah l
membalas engkau dengan kebaikan.”
Maka beliau menjawab: “Bagi setiap
muslim hendaknya berpuasa dan berhari raya bersama (pemerintah) negerinya
masing-masing. Hal itu berdasarkan sabda Nabi `:
“Puasa itu di hari kalian (umat Islam)
berpuasa, Idul Fitri itu adalah pada saat kalian ber-idul Fitri, dan Idul Adha
itu di hari kalian berkurban.” Wabillahit taufiq (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)
î
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t ditanya:
“Umat Islam di luar dunia Islam sering berselisih dalam menyikapi
berbagai-macam permasalahan seperti (penentuan ) masuk dan keluarnya bulan
Ramadhan, serta saling berebut jabatan di bidang dakwah.
Fenomena ini terjadi setiap tahun,
hanya saja tingkat ketajamannya berbeda-beda pada tiap tahunnya. Penyebab
utamanya adalah minimnya ilmu agama, mengikuti hawa nafsu dan terkadang
fanatisme madzhab atau golongan, tanpa mempedulikan rambu-rambu syari’at Islam
dan bimbingan para ulama’ yang kesohor akan ilmu dan wara’nya. Maka, adakah
sebuah nasehat yang kiranya bermanfaat dan dapat mencegah (terjadinya) sekian
kejelekan?
Semoga Allah l memberikan taufiq dan penjagaan-Nya kepada engkau.”
Maka beliau berkata: “Umat Islam
wajib bersatu dan tidak boleh berpecah-belah dalam beragama. Sebagaimana firman
Allahl(artinya): “Dia telah mensyari’atkan
bagi kalian tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepadamu, Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya.” (asy-Syuura: 13)
“Dan berpegang-teguhlah kalian semua
dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali Imran: 103)
“Dan janganlah kalian seperti
orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datang kepada mereka
keterangan, dan bagi mereka adzab yang pedih.” (Ali Imran: 105)
Maka wajib bagi umat Islam untuk
menjadi umat yang satu dan tidak berpecah-belah dalam beragama.Hendaknya waktu
puasa dan har raya mereka satu, dengan mengikuti keputusan badan/departemen
yang menangani urusan umat Islam dan tidak bercerai-berai (dalam masalah ini),
walaupun harus membelakangi puasa kerajaan Saudi Arabia atau negeri Islam
lainnya.”
(Fatawa Fi Ahkamish Shiyam, hal. 51-52)
î
Fatwa al-Lajnah ad-Daimah Lil-Buhuts al-‘Ilmiyyah wal-Iftaa’: “…Dan tidak
mengapa bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal (bulan tsabit)
di tempat tinggalnya pada malam ke-30 untuk mengambil hasil ru’yatul hilal dari
tempat lain di negerinya. Jika umat Islam di negeri tersebut berbeda pendapat
dalam hal penentuannya, maka yang harus diikuti adalah keputusan pemerintah di
negeri tersebut bila ia seorang muslim, karena (dengan mengikuti) keputusannya
akan sirnalah perbedaan pendapat itu.
Dan jika si pemerintah bukan seorang
muslim, maka hendaknya mengikuti keputusan majlis/departemen pusat yang
membidangi urusan umat Islam di negeri tersebut. Hal ini semata-mata untuk
menjaga kebersamaan umat Islam dalam menjalankan puasa Ramadhan dan shalat Id
di negeri mereka.
Wabillahittaufiq, washallallahu ‘ala
Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.”
(Pemberi fatwa: asy-Syaikh Abdur Razzaq
‘Afifi, asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan asy-Syaikh Abdullah bin Mani’.
(Lihat Fatawa Ramadhan hal. 117)
Demikianlah beberapa fatwa para ulama
terdahulu dan masa kini seputar kewajiban berpuasa dan berhari raya bersama
pemerintah dan mayoritas umat Islam di negerinya.
Semoga menjadi pelita dalam kegelapan
dan pelejaran bagi orang-orang yang mendambakan persatuan umat Islam.
Wallahu a’lam.
BERSAHUR DAN
BERIFTAR (BERBUKA)
MENURUT TUNTUNAN
RASULULLAH `
Para pembaca rahimakumullah, sahur
dan ifthar (berbuka) merupakan dua prosesi yang cukup berarti dalam
keberlangsungan shaum seorang muslim. Ia tidak hanya sekedar makan dan minum,
namun ia justru sebagai ibadah yang membedakan umat Islam dengan Yahudi dan
Nashara.
A. TUNTUNAN RASULULLAH ` DALAM BERSAHUR
Perlu kita ketahui, bahwa sahur adalah
sesuatu yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah `.
Dalam hadits Ibnu Umar a, Rasulullah `
bersabda:
“Bersahurlah
kalian, walaupun dengan seteguk air”.
(Shahih at Targhib no. 1071 karya asy Syaikh al Albani)
Sahur
memiliki beberapa keutamaan, diantaranya:
a. Sahur mengandung barokah
Sebagaimana hadits Anas bin Malik a,
Rasulullah ` bersabda:
“Bersahurlah
kalian karena sesungguhnya pada makan sahur terdapat barokah.”(Muttafaqun
‘alaihi)
b. Mendapat shalawat dari
Allah ldan para malaikatnya.
Sebagaimana
hadits Abu Sa’id al Khudri a:
“Sesungguhnya
Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur”.(HR.
Ahmad, shahih at Targhib no. 1077)
c. Menyelisihi Ahlul Kitab
Sebagaimana
hadits Amr bin Ash a, Rasulullah `
bersabda:
“Pembeda
antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab adalah (pada puasa kita) ada
makan sahur.” (H.R Muslim)
ADAB-ADAB BERSAHUR
1. Mengakhirkan sahur
Mengakhirkan sahur termasuk sunnah Rasulullah `. Sehingga
kebiasaan sebagian kaum muslimin yang bersahur jauh sebelum munculnya fajar
shadiq (fajar kedua, pertanda masuknya waktu shalat shubuh) kurang sesuai
dengan petunjuk Rasulullah `.
Sahabat
Anas bin Malik a menceritakan bahwa Zaid
bin Tsabit a berkata: “Kami makan sahur bersama
Nabi ` kemudian beliau berdiri untuk
melaksanakan shalat shubuh, saya (Anas bin Malik) bertanya kepadanya (Zaid):
”Berapa jarak antara adzan dengan sahur? Zaid
menjawab: “Kurang lebih sepanjang bacaan lima puluh ayat.” (Muttafaqun
‘alaihi)
2. Bersahur dengan tamr (kurma)
Alangkah baiknya jika dalam hidangan makan
sahur terdapat kurma.
Nabi `,
bersabda: “Sebaik-baik makanan sahur seorang mukmin adalah kurma”.
(H.R.
Abu Dawud dan lainnya, lihat ash Shahihah no. 562)
3. Berakhirnya makan sahur
Berakhirnya waktu untuk makan sahur telah
ditentukan dalam al Qur’an dan as-Sunnah (al Hadits) yaitu dengan terbitnya
fajar shadiq (fajar kedua, pertanda masuknya waktu shubuh) sebagaimana firman
Allah l:
“...dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar.” (al-Baqarah: 187)
Sebagaimana pula dalam hadits ‘Aisyah d: “Sesungguhnya
Bilal a mengumandangkan adzan pada malam hari,
maka Rasulullah ` bersabda: ‘Silahkan kalian makan dan
minum sampai ibnu Ummi Maktum a
mengumandangkan adzan, sesungguhnya dia tidak mengumandangkan adzan kecuali
setelah terbit fajar.” (HR. al Bukhari)
4.
Imsak Menurut Timbangan Islam
Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka
ketentuan imsak sebelum terbitnya fajar shadiq (tanda masuknya waktu shubuh)
tidak ada tuntunannya dari Rasulullah ` dan
para sahabatnya. Berkata al Imam Malik t:
“Segala sesuatu (baik perkataan ataupun
perbuatan –pen) yang bukan termasuk bagian dari agama pada zaman Rasulullah ` dan
para sahabatnya, maka pada hari ini juga bukan termasuk agama”.
Berkata al Imam asy Syafi’i t: “Barangsiapa
yang menganggap suatu perkara (perkataan atau perbuatan yang tidak pernah diajarkan
oleh Nabi ` –pen) itu baik, sungguh dia telah membuat
syariat”.
Sehingga walaupun pengumuman imsak telah
dikumandangkan, sedangkan fajar shadiq (fajar kedua, pertanda masuknya waktu
shubuh) belum tampak, maka masih diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk makan
sahur.
Namun demikian, jangan cendrung
bermudah-mudahan dalam masalah ini.Pastikan, ketika masuk waktu shalat shubuh
anda benar-benar telah berhenti dari makan sahur.
B. TUNTUNAN RASULULLAH ` DALAM BERIFTHAR
(BERBUKA)
1.
Kapan Berifthar?
Al-Ifthar (berbuka) boleh dilakukan bila
telah masuk waktu malam sebagaimana firman Allah l:
“Kemudian
sempurnakanlah shaum sampai malam hari.”
(al-Baqarah: 187)
Ayat ini telah ditafsirkan oleh Rasulullah
`
bahwa hal itu terjadi bila telah muncul kegelapan malam dan telah hilang cahaya
siang serta tenggelamnya matahari, sebagaimana hadits Abdullah bin Abu
Aufa a
berkata: “Kami bersama Rasulullah ` dalam sebuah perjalanan
di bulan Ramadhan, ketika matahari telah terbenam, beliau `
bersabda:
“Wahai fulan turunlah (dari
kendaraanmu) dan siapkan makanan untuk kami!Sahabat tadi berkata: “Wahai Rasulullah
sesungguhnya engkau masih di siang hari.
Berkata Rasulullah `:
“Turunlah dan siapkan makan untuk kami! Kemudian orang tersebut turun lalu
mempersiapkan makanan dan menghidangkannya kepada Rasulullah `,
beliau pun kemudian minum seraya berkata
sambil menunjuk dengan tangannya:
"Jika matahari telah tenggelam dari
arah sini (barat) dan telah muncul kegelapan malam dari arah sini (timur) maka
telah boleh berbuka bagi orang yang berpuasa.”
(Muttafaqun ‘Alaihi)
2.
Menyegerakan berifthar
Menyegerakan berbuka merupakan sunnah
Rasulullah ` maka hendaknya bagi kita untuk
mencontohnya karena terdapat banyak kebaikan di di dalamnya. Jangan menunda
berbuka sampai selesai shalat maghrib. Al Imam Ahmad meriwayatkan dari sahabat
Anas bin Malik a, beliau berkata:
“Dahulu
Rasulullah ` berbuka sebelum shalat (maghrib
–pen)”.
Para pembaca yang dirahmati Allah l,
menyegerakan berbuka terdapat padanya keutamaan yang banyak, diantaranya:
a. Menyegerakan berbuka akan mendatangkan kebaikan.
Sebagaimana hadits Sahl bin Sa’d bahwa
Rasulullah ` bersabda:
“Kaum
muslimin akan selalu berada dalam kebaikan (kemuliaan) selama mereka masih
menyegerakan berbuka.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Rasulullah `
bersabda: “Senantiasa umatku dalam kebaikan atau di atas fitrah selama
mereka tidak mengakhirkan shalat maghrib sampai munculnya bintang-bintang”. (Hadits
ini dishahihkan oleh al Hakim dan disepakati oleh adz Dzahabi. (Lihat Silsilah
ash Shahihah no. 631, karya asy Syaikh al Albani)
b. Menjaga dan
menghidupkan sunnah Rasulullah `.
Sebagaimana hadits dari sahabat Sahl bin
Sa’da:
“Umatku
akan senantiasa di atas sunnahku, selama mereka tidak menunda berbukanya
sampai munculnya bintang-bintang.” (H.R.
Ibnu Hibban, lihat Fathul Bari hadits no. 1957)
c. Menyelisihi Yahudi, Nashara, dan Syi’ah.
Sebagaimana hadits Abu Hurairah a:
“Agama
ini akan senantiasa tegak selama umat Islam menyegerakan berbuka, karena Yahudi
dan Nashara adalah orang-orang yang mengakhirkannya”.
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, lihat Shahih at Targhib no. 1075)
Al Imam Ibnu Daqiq al-Id menegaskan bahwa
penundaan berbuka selain kebiasaan Yahudi dan Nashara juga merupakan kebiasaan
kelompok sesat Syi’ah, yang mana mereka selalu menunggu munculnya
bintang-bintang di langit (sebagai tanda awal berbuka bagi mereka -pen)
dan ini menyelisihi sunnah Rasulullah `.
3. Dengan apa berifthar (berbuka)?
Alangkah baiknya bagi seorang yang berbuka
agar berbuka dengan ruthab (kurma
setengah masak), kalau tidak mendapatkannya
boleh dengan tamr (kurma masak), kalau
tidak ada boleh dengan air, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik a :
“Bahwasanya Rasulullah `
dahulu berbuka (berifthar) sebelum maghrib dengan beberapa ruthab, jika tidak
mendapatinya maka dengan kurma yang sudah masak, kalau tidak mendapatinya maka
dengan meneguk air beberapa tegukan.
(Shahih Sunan Abu Dawud hadits no. 2356,
karya asy Syaikh Al Albani t)
4. Doa ketika berifthar
Telah disebutkan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al Hakim dari sahabat Abdullah bin Umar a
bahwa Rasulullah ` bila berbuka mengucapkan:
“Telah
hilang dahaga, telah basah urat-urat dan tercatatlah al-ajr (pahalanya) insya
Allah.(Shahih Sunan Abu Dawud no.2357).
Para ulama hadits seperti al Hafihz Ibnu
Hajar dalam kitabnya Talkhishul Habir, al Imam Ibnu Qayim dalam Zadul ma’ad,
asy Syaikh al Albani dan selainnya. Mereka menyatakan hadits ini adalah dha’if
(lemah) sehingga tidak boleh dijadikan sebagai sandaran dalam beramal.
Wallahu
a’lamu bishshawab
0 komentar:
Posting Komentar